Masyarakat Tanpa Tuhan karya Phil Zuckermann

Bagaimana rasanya hidup dalam masyarakat yang memandang Tuhan tidak penting
Estimasi waktu baca: 11 menit

1746929774560

Judul buku ini kontras dengan masyarakat Indonesia yang relijius. Asal buku ini dari studi antropologi tentang cara hidup masyarakat dengan tingkat relijiusitas yang rendah di Denmark dan Swedia dibandingkan dengan Amerika Serikat oleh sosiologis, Phil Zuckerman. Hasil penelitian tersebut dibukukan dengan spesifikasi ini:

  • Judul: Society without God / Masyarakat Tanpa Tuhan
  • Penulis: Phil Zuckerman
  • Penerbit: New York University Press / Penerbit Basa Basi (Terjemaahan)
  • Tahun Terbit: 2008 / 2018 (Terjemaahan)
  • Halaman: ~400 halaman
  • Harga (per Maret 2025) : Rp. 75.000 via Shopee

Penulis

Phil Zuckerman adalah seorang profesor studi sosiologi-sekuler dari Pitzer College. Dalam bidangnya Phil mengkaji corak sekuler dalam masyarakat melalui kacamata ilmu sosial. Beliau menulis banyak buku tentang keahliannya: Living the Secular Life, The Nonreligious, Beyond Doubt: The Secularization of Society dan yang terbaru What it Means to Be Moral (2019). Sejauh yang Mika temui, baru Society without God dari seluruh karya Phil Zuckerman yang diterjemahakan ke bahasa Indonesia.

Kudos buat Penerbit Basa Basi yang sudah menerbitkan.

Ringkasaan Isi

Phil mengunakan waktu di Denmark dan Swedia selama empat belas bulan meneliti kehidupan warga sekuler disana. Denmark dan Swedia adalah negara sekuler demokratis yang mengesankan dengan indeks pendidikan, kesehatan, kesetaran ekonomi dan gender yang baik. Angka kriminalitas yang rendah dan harapan hidup yang tinggi.

Wacana masyarakat tanpa Tuhan yang kontroversial di Amerika Serikat, negara tempat Phil tinggal, mendorong tercetusnya buku ini. Banyak evenagelis kristen konservatif mengembar-gemborkan masyarakat tak bertuhan akan menjadi kekacauan, sumber kejahatan dan amoralitas.

Memang ada negara-negara sekuler yang tidak mengesankan seperti Albania, Uni Soviet dan Korea Utara dalam hitungan masyarakat yang sehat. Mereka memaksakan ateisme dan menginjak-injak agama, melawan suara masyarakat mereka. Kelaparan, korupsi, kelaparan menerpa negara-negara tersebut. Ini mungkin sekilas membenarkan pandangan para evanjelis.

Namun hal itu berbeda di negara sekuler demokratis seperti Skandinavia yang ateisme hidup secara organik dari akar rumput alih-alih dipaksakan oleh tangan besi elit rezim. Warganya memilih ateis karena memang keinginan bahkan sebelumnya berdiri kerajaan kristen disana tidak banyak mengubah iman warganya.

Sebaliknya di Albania, warganya menjadi penganut agama yang tekun setelah kejatuhan rezim diktator. Hal demikian pula kenapa Phil memilih warga Skandinavia, sebab warganya bebas menyuarakan suara iman mereka tanpa takut kena hukuman seperti Tiongkok yang membungkam agama dan Arab Saudi yang membungkam orang tak beriman.

Sia-sia, bukan? jika kita memungut suara dari warga, besoknya warga yang bersuara kemarin hilang dalam semalam bak menulis diatas pasir. Mempertimbangkan sekularitas suatu negara perlu memeriksa apakah mereka negara diktator atau demokrasi, ketakbertuhanan yang dipaksakan dari atas atau muncul dari warga yang meninggalkan agama dengan sendirinya.

Ini adalah bukti bantahan atas sentimen evanjelis Amerika, bahwa ada negara yang mampu beradab, berfungsi baik dan punya berbudi luhur yang tinggi tanpa bantuan iman kepada Tuhan dan agama sekalipun.

Selama disana, Phil mewawancari berbagai kalang warga Denmark dan Swedia. Mulai dari yang lulusan SMP hingga profesor di universitas, pekerja kerah biru hingga kerah putih, buruh pabrik hingga perawat, polisi di jalan raya hingga pensiunan hakim, mahasiswi hingga aki-aki dan lelaki maupun perempuan.

Respon sebagian besar masyarakat disana adalah tidak peduli seperti "Aku tidak tertarik dengan pembicaraan ini", "hanya buang-buang waktu" dan sebagainya, segelitir kecil yang berani bilang secara pasti "Saya percaya Tuhan" dan "Saya ateis". Hasilnya masyarakat disana tidak ekstrim, alih-alih kita memikirkan mereka seorang ateis militan, mereka lebih apatheis (ateis apatis) atau ateis praktis dengan sikap sinis terhadap agama. Agama dimata mereka seperti fenomena luar biasa seperti UFO atau Bigfoot.

Meskipun negara sekuler, Gereja Lutheran Nasional disana didanai oleh negara dari pajak.

Berbeda dengan kebanyakan agama yang getol menyebarkan ajarannya. Gereja disana menjadi tempat layanan masyarakat seperti pelaksanaan pernikahan karena kesan romantis, membaptis anak sekedar untuk perayaan kelahiran anak, kunjungan untuk menikmati nyanyian dan berkumpul satu sama lain. Semua itu tanpa berlandaskan iman, sepenuhnya menjalankan kebiasaan. Ini mengapa buku ini tentang masyarakat tanpa Tuhan bukan masyarakat tanpa agama.

Banyak penulis buku mempromosikan sekularitas ketimbang religiusitas seperti Richard Dawkins, Sam Harris dan Christopher Hitchens. Walakin tidak satupun dari mereka menjelaskan persoalan masyarakat sekuler, buku Phil menjadi pelengkap dari bagian yang hilang tersebut. Ditemukan tiga kategori sifat sekuler dari warga Skandinavia.

Pertama, sikap enggan dengan agama. Bagi mereka agama adalah hal personal yang tak perlu dibicarakan ditempat umum. Ini terlihat dari jawab Jokum, pemimpin kongregasi berusia 36 tahun di desa pinggir Aarhaus,

"Di Denmark, kata 'Tuhan' adalah salah satu kata memalukan yang orang lain bisa katakan. Lebih baik telanjang mengelilingi kota daripada membicarakan Tuhan."

Kedua masa bodoh yang tak berbahaya, sikap seperti menilai agama baik seperti ajaran mengasihi sesama, berbuat baik dan sebagainya namun dengan alasan kebaikan sosial ketimbang iman supranatural. Berikut jawab wawancara Rasmus peneliti berumur 32 tahun:

"Saya tidak percaya Tuhan... tapi saya tidak menentang agama. Saya rasa agama bisa memberikan kenyamanan. Bisa bagus untuk banyak orang...agama- dengan kerendahan hati dan akal sehat- saya mendukungnya. Saya sendiri tidak percaya tapi ...ya."

Bagi Trine seorang tak beriman menjawab, "Saya tidak jijik dengan agama, tapi bagi saya itu tidak ada artinya."

Terakhir ketidaksadaran total akan agama, ini adalah contoh langka diteempat agama sama sekali tak terpikirkan, tak penting dan marginal.

Erik seorang petugas kapal berusia 26 tahun, ia bilang "tidak memiliki darah relijius dalam dirinya".

Ia kesulitan menjawab saat ditanya dirinya ateis atau agnostik, "Saya belum pernah memikirnya, sungguh." tukasnya. Ini bukan sesuatu yang kamu pikirkan? "Tidak sama sekali", balas Erik.

Namun apa yang membuat negara di Eropa Barat (khususnya Skandinavia) dari relijius, dulunya menjadi fondasi kekuataan kristen bahkan menjadi rumah untuk mitologi Nordik Kuno ke masyarakat sekuler sekarang ini. Buku ini menyajikan tiga teori: Monopoli Malas, Masyarakat yang Aman, Wanita Pekerja.

Monopoli malas ketika suatu agama dominan di subsidi negara sehingga enggan melakukan siar besar-besaran, ini serupa dengan universitas negeri di indonesia yang tidak marketing nama mereka. Ketika suatu agama menjadi dominan, persaingan berebut umat akan menjadi sedikit karena mereka tidak perlu sibuk cari umat untuk mendapatkan gaji dari perpuluhan. Akomodasi gereja sudah terjamin oleh negara.

Lain halnya dengan Amerika Serikat yang agama bersaing bak pasar bebas, berebut umat karena hidup mati mereka ada di seberapa banyak (uang) umat yang didapat.

Keamanan masyarakat berpengaruh pada tingkat relijiusitas suatu wilayah, contohnya tempat yang keamanan rendah memiliki angka relijiusitas masyarakat cenderung tinggi dan sebaliknya.

Keamanan disini bukan hanya berarti bebas konflik bersenjata, meliput kestabilan makanan, air bersih dan tempat tinggal, terjangkaunya pekerjaan (magang dibayar, mudah mendapat kerja setelah dipecat) dan kesehatan dan wilayah yang rawan bencana alam.

Saat hidup sulit agama menjadi tempat mencari kenyamanan.

Denmark dan Swedia dulu merupakan wilayah tidak aman, miskin dan rawan penyakit menular pada abad ke 19. Namun memasuki abad ke 20, Denmark berubah drastis karena sistem kesejahteraan yang paling berkembang diantara negara demokrasi hingga menjadi peradabaan yang mengesankan, paceklik tinggal sejarah dan teknologi berdampak pada masyarakat.

Peran wanita tak kalah penting membentuk wajah sekuler ini. Menurut teori Callum Brown kalau wanita lebih relijius ketimbang pria, wanita yang membangunkan anggota keluarga untuk berdoa, wanitalah yang mengajari anak-anaknya akan adanya Tuhan.

Ketika wanita berkerja berbayar di luar rumah, hal-hal ini menjadi luruh. Pada tahun 1960, jumlah wanita berkerja sebagai ibu rumah tangga ada sekitar 800 ribu orang lalu merosot menjadi 250 ribu pada tahun 1980 malahan didekade berikutnya wanita mengalahkan presentasi lelaki dalam angkatan kerja, luar biasa!

Namun ada faktor lain yang tak nampak besar ketimbang faktor diatas. Pendidikan yang menjunjung tinggi sains dan humanisme, tidak ada guru biologi yang menyensor dirinnya untuk bicara soal teori evolusi bahkan tidak mencekokinya dogma agama. Kekuatan budaya yang baik, tidak perlu identitas relijius untuk menjaga kesatuan persatuan suatu bangsa. Pandangan

"Setelah kita mati sama sebelum kita lahir", kutipan cukup mengambarkan cara warga Skandinavia memandang arah kematian. Kematian adalah proses alami dan tak terhindarkan, pemikiran ini membuat orang Skandinavia tidak mencemaskan kematian.

Bent seorang pensiunan guru berusia 56 tahun menjawab apa yang terjadi setelah mati:

"Kita secara kimia akan larut ... cacing, bakteri dan virus datang lalu mengubah kita menjadi zat kimia".

Lasse seorang mahasiswa kedokter berusia 25 tahun, menjawab:

"Saya rasa tidak ada yang terjadi. Ketiadaan terakhir. Seperti sebelum hidup. Jika sudah selesai, selesai saja. Jika Anda Mati, mati saja."

Pasangan suami istri, Arne berusia 68 tahun dan Argnethe berusia 65 tahun pemiliki penginapan yang keduanya sekolah sampai kelas sembilan, menjawab:

"Saya tidak berasal dari langit?" jawab Arne.

Kalian percaya surga?

"Tidak" jawab Arne.

Neraka?

"Tidak [tertawa]"

Sigrid, penderita kanker berusia 53 tahun yang menunggu kematian, menjawab dengan tenang:

"Saya akan diletakan ditanah dan tak terjadi apa-apa."

Jawaban-jawaban yang luar biasa dari orang sekuler yang terang-terang seperti ini, mereka tidak takut akan kematian dan menanggapinya dengan damai. Jika mereka menerima mati begitu tenang, apa yang mendorong mereka tetap hidup, maskudnya apa yang membuat mereka menilai hidup dan menjalankanya seperti orang-orang relijius yang hidup untuk beribadah?

Kryestin seorang mahasiswa teknik berumur 24 tahun, sangat berorientasi pada ilmu pengetahuan. Ketika ada apa setelah kematian, ia menjawab:

"Tidak ada, Kita hanya hidup untuk waktu singkat kemudian tidak menjadi apa-apa."

lalu apa artinya semua (hidup) ini?

"Ini bukan sesuatu yang sangat saya pikirkan. Namun pada dasarnya saya berpikir bahwa hidup adalah tentang apa yang kita lakukan sekarang, apa yang membuat kita bahagia dan membuat kita merasa meraih sesuatu..."

Bagi Vibeke, ahli biologi pengangguran di Kopenhagen, ia menjawab:

"Arti hidup adalah menjalani hidup dan memiliki hidup yang baik, dan Anda tidak boleh hidup hanya untuk menunggu setelahnya."

Bagi Jeppe, seorang pensiunan guru jasmani berusia 68 tahun, memiliki jawaban menarik:

"Saya rasa hidup tidak artinya. Artinya adalah apa yang Anda sendiri tetapkan didalamnya."

Ulasan Mika

Buku ini memberi kesan surreal (serasa mimpi), ngebayangin apa memang betulan ada masyarakat macam ini : Bodo amat dengan Tuhan, Agama sebatas untuk kesenangan, Ya mati yang udah selesai ga ada acara Surga Neraka, perempuan memiliki peran aktif memimpin di masyarakat dan mereka menjadi masyarakat yang humanis dan egaliter.

Tentu ini dapat dimengerti karena Mika tinggal di populasi relijius dan budaya seksis yang kuat.

Mika mendapat poin-poin menarik dari buku ini:

  • Bermoral dan berbudi pekerti, bisa tanpa fondasi agama, dan berlandaskan pada rasionalitas, humanisme dan ilmu pengetahuan.
  • Percaya Tuhan tidak menjamin seseorang itu baik bahkan warga Skandinavia membuktikan ada orang tak percaya tuhan itu baik-baik kok.
  • Ateis ternyata bukan penyembah setan, bahkan ada yang gak tahu sama agama sekalipun (bagaimana dia tahu apa itu setan?), dan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk jadi ateis.
  • Label "ateis" terkesan ekstrim untuk orang Skandinavia, walaupun yang memang kenyataanya mereka ateis tulen, ateis yang tanpa repot-repot membantah argumen agama dan menjalani hidup tanpa tuhan seutuhnya.
  • "Setelah mati, tidak apa-apa" ini walaupun sulit diterima karena dogma-dogma, secara ilmiah tidak ada yang bisa mengonfirmasi alam setelah mati kecuali apa yang tertulis di kitab-kitab agama pada umumnya.
  • Selain ateis, dari cara memereka memandang hidup kurang lebih seperti ekstensialis (orang yang menjalani prinsip eksistensialisme) : "Hidup tidak berarti, kita yang membuatnya."
  • Secara politik, gereja menjadi agen perubahan. Alih-alih kearah relijius namun lebih ke sisi akomodasi hidup seperti lingkaran sosial, pastor-pastor yang ramah, menikmati musik-musik dan sebagainya.
  • Kebanyakan negara relijius berada di tingkat negara berkembang dan rawan konflik. Ini mendukung faktor "Masyarakat yang aman".
  • Hidup seperti kucing : makan, tidur, berak, jilat-jilat tubuhnya yang tampak tak punya arti hidup, tapi tetap hidup aja.

Kesimpulan dari buku ini mengenalkan kita bahwa agama itu bukan segalanya, bukti warga-warga Skandinavia yang sekuler dan menjadikan agama sebagai budaya menegaskan kalau manusia yang tak beriman belum pasti jahat. Bahkan terdapat alternatif lain cara untuk menjadi baik seperti rasionalitas dan humansime sekuler.

Buku ini cocok memperluas cakrawala tentang sekularisme yang baik dan menjadi tanda bahwa sekularisme ga seseram yang di gaungkan pemuka di Indonesia seperti jarang ibadah akan kena azab. Dengan catatan sekularisme yang humanisme dan demokratis seperti Denmark dan Swedia, kalaupun kita memaksakan sekularisme di Indonesa tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kebalikanya seperti di negara sekuler diktator.

Teori "Masyarakat yang Aman" ini cukup valid di Indonesia. Ketidakpastian akomodasi hidup dan kesenjangan ekonomi dibawah cambuk kapitalisme, membuat orang berpaling ke agama sebagai bentuk pelarian diri dari kenyataan (eskapisme). Bukan Mika membela Marx lho ya, kediktaturan plotariat juga bisa menghasilkan fasis berjubah komunis yang jahad seperti di Albania.

Sekian resensi kali ini. Terima kasih, sudah membaca :)

Tertarik dengan tulisan Mika?

Bagikan Tautan 🔗

Follow Mika